Monday, June 28, 2004

Cincin

Waktu hari Sabtu niatnya mo creambath tapi ga jadi akhirnya dateng ke acara Seminar di kampus "Percaya Diri Menghadapi Sidang Akhir". Acaranya bagus juga, gw jadi tau sekelumit masalah yg dihadapi pada saat sidang akhir. Tapi gw kok jadi stress ya, ciut duluan. Trus ada yg bilang kalo sidang akhirnya anak2 TI kebanyakan dapet C. Waaaaaaaaah tambah ciut gw. Bisa ga ya gw ngadepin sidang akhir?? Syarat untuk bisa mengikuti sidang akhir itu harus 146 sks + 2 KKP (Kuliah Kerja Praktek). Gw aja blom sampe 100 sks, KKP juga blom. Waaaaaaaaah tambah stress gw mikirin kek gitu. Ada beberapa dosen yg menyarankan utk melihat acara sidang akhir yg akan dimulai tgl 7 Juli nanti. Tadinya sih gw pengen liat, tapi ikut seminarnya aja gw udah stress apalagi nonton orang yg sidang, bisa2 gw yg pingsan deh.

Oh iya gimana pengalaman kalian yg udah menghadapi Sidang Akhir, ceritain donk???

Pagi ini bos gw bilang kalo besok jam 4 sore dia mesti berangkat ke Kalimantan untuk ngurus mobilisasi salah 1 Perusahaan afiliasi kantor gw. Ga tau jam 4 sore dari kantor, apa jam 4 sore dah mesti ada di bandara. Katanya sih sebelum Pemilihan Presiden dia dah mesti ada di Jakarta. Soale si bpk yg 1 ini ga mau ketinggalan utk memilih Pres & Cawapres. Fyi, bos gw ini dah gw anggap kek bokap sendiri. Apalagi semenjak kepergian almarhum bokap gw, bos gw ini gw anggap sbg penggantinya.

Oh iya guys, gw punya 1 cerita yg moga2 bisa bermanfaat buat kita semua.

Beberapa waktu yang lalu, di Mesir hidup seorang sufi yang tersohor bernama Zun-Nun. Seorang pemuda mendatanginya dan bertanya : "Master, saya belum paham mengapa orang seperti Anda mesti berpakaian apa adanya, amat sangat sederhana. Bukankah di zaman yang ini berpakaian necis amat perlu, bukan hanya untuk penampilan namun juga untuk tujuan banyak hal lain."

Sang sufi hanya tersenyum, ia lalu melepaskan cincin dari salah satu jarinya, lalu berkata : "Sobat muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Cobalah, bisakah kamu menjualnya seharga satu keping emas."

Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu; "Satu keping emas. Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu." "Cobalah dulu sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil."

Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya. Ternyata, tak seorang pun berani membeli seharga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak.

Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak. Ia kembali ke padepokan Zun-Nun dan melapor; "Master, tak seorang pun yang berani menawar lebih dari satu keping perak."

Zun-Nun, sambil tetap tersenyum arif, berkata, "Sekarang pergilah kamu ke toko emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang emas di sana. Jangan buka harga. Dengarkan saja, bagaimana ia memberikan penilaian."

Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada Zun-Nun dengan raut wajah yang lain. Ia kemudian melapor; "Master, ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas. Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar."

Zun-Nun tersenyum simpul sambil berujar lirih; "Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya. Hanya "para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar" yang menilai demikian. Namun tidak bagi "pedagang emas".

Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat ke kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan itu butuh proses wahai sobat mudaku. Kita tak bisa menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas. Seringkali yang disangka emas ternyata loyang dan yang kita lihat sebagai loyang ternyata emas."

0 comments: