Wednesday, February 15, 2012

Utbah bin Ghazwan

Diantara Muslimin yang lebih dulu masuk Islam, diantara Muhajirin yang pertama yang hijrah ke Habsyi, kemudian ke Madinah dan diantara pemanah pilihan yang tak banyak jumlahnya yang telah berjasa besar dijalan Allah, terdapatlah seorang laki-laki yang berperawakan tinggi dengan muka bercahaya dan rendah hati, namanya ‘Utbah bin Ghazwan.

Ia adalah orang ketujuh dari kelompok tujuh perintis yang berbaiat menjabat tangan kanan Rasulullah SAW dengan tangan kanan mereka untuk bersedia menghadapi orang-orang Quraisy yang sedang memegang kekuatan dan kekuasaan serta gemar menuruti hawa nafsu angkara.

Pada hari-hari pertama dimulainya dakwah, dan pada hari penderitaan dan kesukaran, ‘Utbah bersama kawan-kawannya telah memegang teguh suatu prinsip hidup yang mulia yang kemudian kelak menjadi bekal dan makanan bagi hati nurani manusia dan akan berkembang menjadi luas melalui perkembangan masa.

Sewaktu Rasulullah saw menyuruh sahabat-sahabat nya hijrah ke Habsyi, maka ‘Utbah pun termasuk diantara orang-orang Muhajjirin itu. Tetapi kerinduan kepada Nabi saw tidak membiarkannya untuk menetap disana, segeralah ia menjelajahi daratan dan mengarungi lautan untuk kembali ke Mekkah, lalu tinggal disana disamping Rasulullah saw hingga datang saatnya hjijrah ke Madinah, maka ‘Utbah pun hijrah bersama kaum Muslimin lainnya.

Dan semenjak orang-orang Quraisy melakukan gangguan dan melancarkan peperangan, ‘Utbah selalu membawa panah dan tombaknya. Ia melemparkan tombaknya dengan ketepatan yang luar biasa, dan bersama kawan-kawannya, orang-orang mukmin lainnya ia menggunakan panah itu untuk menghancurkan alam hidup dan berpikir dengan berhala dan segala kebohongannya.

Di waktu Rasulullah saw yang mulia wafat menemui Rabb Yang Maha Tinggi, ia belum lagi hendak meletakkan senjatanya, bahkan ia selalu berkelana untuk berperang di muka bumi. Dan ketika berhadapan dengan tentara Persi, ia melakukan perjuangan yang tiada taranya.

Amirul Mukminin ‘Umar mengirimkannya ke Ubullah untuk membebaskan negeri itu dan membersihkan buminya dari orang-orang persi yang menjadikannya sebagai batu loncatan untuk menghancurkan kekuatan Islam yang sedang maju melintas wilayah-wilayah kerajaan Persi, serta untuk membebaskan negeri Allah dan hamba Nya dari cengkeraman penjajahan mereka. Dan berkatalah ‘Umar kepadanya sewaktu melepaskannya bersama tentaranya, “berjalanlah anda bersama anak buah anda hingga sampai batas terdekat negeri Persi! Pergilah dengan restu Allah dan berkah Nya! Serulah ke jalan Allah siapapun yang mau dan bersedia. Dan siapa yang menolak hendaklah ia membayar pajak. Dan bagi setiap penantang maka pedanglah bagiannya tanpa pandang bulu. Tabahlah menghadapi musuh serta bertakwalah kepada Allah.

Pergilah ‘Utbah memimpin pasukannya yang tidak seberapa besar hingga sampai ke Ubullah. Ketika itu orang-orang Persi telah menyiapkan bala tentara mereka yang terkuat. ‘Utbah pun menyusun kekuatannya dan berdiri di muka pasukannya sambil membawa tombak di tangannya yang belum pernah meleset dari sasarannya semenjak ia berkenalan dengan tombak. Ia berseru di tengah-tengah tentaranya, “Allahu Akbar, shadaqa wa’dah, Allah Maha Besar, Dia menepati janjiNya.”

Dan seolah-olah ia dapat membaca apa yang akan terjadi, karena tak lama setelah terjadi pertempuran kecil, Ubullah pun menyerah dan daerahnya dibersihkan dari tentara Persi. Sedangkan penduduknya terbebas dari kekejaman yang selama ini mereka rasakan tak ubahnya seperti neraka, dan benarlah Allah yang Maha Besar itu telah menepati janji-Nya!

Di tempat berdirinya Ubullah itu, ‘Utbah membangun kota Bashrah dengan dilengkapi saran perkotaan termasuk sebuah masjid besar. Dan sekarang ia bermaksud meninggalkan negeri itu dan kembali ke Madinah, menjauhkan diri dari urusan pemerintahan, tapi Amirul Mukminin ‘Umar keberatan dan menyuruhnya untuk tetap disana.
‘Utbah pun memenuhi keinginan khalifah, membimbing rakyat melaksanakan sholat, member pengertian dalam soal agama, menegakkan hukum dengan adil, serta member contoh teladan yang sangat teladan tentang kezuhudan, wara’ dan kesederhanaan. Dengan tekun dikikisnya kemewahan dan sikap berlebih-lebihan sekuat dayanya, sehingga hal itu menjengkelnya yang dipengaruhi oleh nikmat kesenangan dan hawa nafsu.

Pada suatu hari, ‘Utbah pun berdiri berpidato di tengah-tengah mereka, ia berkata, “Demi Allah, sesungguhnya telah kalian lihat aku bersama Rasulullah SAW sebagai salah seorang kelompok tujuh yang tak punya makanan kecuali daun-daun kayu, sehingga bagian dalam mulut kami pecah-pecah dan luka-luka! Di suatu hari aku memperoleh rezeki berupa sehelai baju burdah, lalu kubelah dua, yang sebelah kuberikan kepada Sa’ad bi Malik dan sebelah lagi kupakai untuk diriku.

‘Utbah sangat menakuti dunia yang akan merusak agamanya, dan ia pun menakuti hal yang serupa terhadap kaum Muslimin. Karena itu, ia selalu membimbing mereka kepada kesederhanaan dan hidup bersahaja. Banyak orang yang mencoba hendak mengubah pendiriannya dan membangkitkan dalam jiwanya kesadaran sebagai penguasa serta hak-haknya sebagai seorang penguasa, terutama di negeri-negeri yang raja-rajanya belum terbiasa dengan zuhud dan hidup sederhana, sementara penduduknya menghargai tanda-tanda lahiriah yang berlebihan dan gemerlapan terhadap hal-hal ini, ‘Utbah menjawabnya dengan ucapan, “Aku berlindung diri kepada Allah dari sanjungan orang terhadap diriku, karena kemewahan dunia, tetapi kecil di sisi Allah.”

Dan tatkala dilihatnya rasa keberatan pada wajah-wajah orang banyak karena sikap kerasnya untuk membawa mereka kepada kewajaran dan hidup sederhana, ia pun berkata kepada mereka, ”besok lusa akan kalian lihat pimpinan pemerintahan dipegang oleh orang lain menggantikan aku.”

Dan datanglah musim haji, diwakilkannya pemerintahan Bashrah kepada salah seorang temannya, kemudian ia pergi menunaikan ibadah haji sewaktu ia telah menunaikan ibadahnya, ia pun berangkat ke madinah, dan disana ia memohon kepada Amirul Mukminin agar diperkenankan mengundurkan diri dari pemerintahan.

Tetapi ‘Umar tidak hendak menyia-nyiakan corak kepribadian dari orang-orang zuhud seperti ini yang menjauhkan diri dari barang yang amat didambakan yang menjadi incaran orang-orang lain. Beliau pernah berkata kepada mereka, “apakah kalian hendak menaruh amanah diatas pundakku, kemudian kalian tinggalkan aku memikulnya seorang diri? Tidak! Demi Allah tidak kuizinkan untuk selama-lamanya!”

Dan demikian lah pula yang diucapkannya kepada ‘Utbah bin Ghazwan, sehingga karenanya, mau tak mau ‘Utbah harus patuh dan taat. Maka ia pergi menuju kendaraannya dan menungganginya kembali ke Bashrah.

Tetapi sebelum naik keatas kendaraan itu, ia menghadap kearah kiblat, lalu mengangkat kedua telapak tangannya yang lemah lunglai itu ke langit sambil memohon kepada Allah ‘Azzawajalla agar ia tidak dikembalikan ke Bashrah dan tidak pula kepada pimpinan pemerintahan untuk selama-lamanya dan doanya pun dikabulkan oleh Allah sewaktu ia dalam perjalanan ke wilayah pemerintahannya maut datang menjemputnya. Roh nya naik ke pangkuan ciptaannya, bersuka cita dengan perngorbanan, darma baktinya, kezuhudan dan kesahajaan. Begitupun karena nikmat yang telah disempurnakan Nya dan oleh karena pahala yng telah disediakan-Nya untuk dirinya.

Dikutip dari : Serial Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah

0 comments: