Friday, July 11, 2003

Email yg gw terima pagi ini

Semoga Allah Mempertemukan Kita di Surga
Maraji': Dzikroyat-Tarbawi

Barangsiapa yang mengharapkan mati syahid dengan sepenuh hati, maka ALLAH akan memberikan mati syahid kepadanya meskipun ia mati ditempat tidur [Hadits] Dunia hanya satu terminal dari seluruh fase kehidupan. Hanya Allah yang tahu rentang usia seorang manusia. Saya, Khadijah sebut saja demikian, menikah dengan Muhammad, 3 Oktober 1993. Muhammad adalah kakak kelas saya di IPB.

Selama menikah, suami sering mengingatkan saya tentang kematian, tentang syurga, tentang syahid, dan sebagainya. Setiap kami bicara tentang sesuatu, ujung-ujungnya bicara tentang kematian dan indahnya syurga itu bagaimana. Kalau kita bicara soal nikmatnya materi, suami mengaitkannya dengan kenikmatan syurga yang lebih indah. Bahkan, berulang-ulang dia mengatakan, nanti kita ketemu lagi di syurga. Itu mempunyai makna yg dalam bagi saya. Hari itu, 16 Januari 1996, kami ke rumah orang tua di Jakarta. Seolah suami mengembalikan saya kepada orang tua. Malam itu juga, suami saya mengatakan harus kembali ke Bogor, karena harus mengisi diklat besok paginya. Menurutnya, kalau berangkat pagi dari Jakarta khawatir terlambat.

Mendekati jam 12 malam, saya bangun dari tidur, perut saya sakit, keringat dingin mengucur, rasanya ingin muntah. Saya bilang pada ibu saya, untuk diobati. Saya kira maag saya kambuh. Saya sempat berpikir suami saya di sana sudah istirahat, sudah senang, sudah sampai karena berangkat sejak maghrib. Saya juga berharap kalau ada suami saya mungkin saya dipijitin atau bagimana. Tapi rupanya pada saat itulah terjadi peristiwa tragis menimpa suami saya. Jam tiga malam, saya terbangun. Kemudian saya shalat. Entah kenapa, meskipun badan kurang sehat, saya ingin ngaji. Lama sekali saya menghabiskan lembar demi lembar mushaf kecil saya. Waktu shubuh rasanya lama sekali. Badan saya sangat lelah dan akhirnya tertidur hingga subuh. Pagi harinya, saya mendapat berita dari seorang akhwat di Jakarta, bahwa suami saya dalam kondisi kritis. Karena angkutan yang ditumpanginya hancur ditabrak truk tronton di jalan raya Parung.

Sebenarnya waktu itu suami saya sudah meninggal. Mungkin sengaja beritanya dibuat begitu biar saya tidak kaget. Namun tak lama kemudian, ada seorang teman di Jakarta yang memberitahukan bahwa beliau sudah meninggal. Inna lillahi wainna ilaihi rajiun. Entah kenapa, mendengar berita itu hati saya tetap tegar. Saya sendiri tidak menyangka bisa setegar itu. Saya berusaha membangun keyakinan bahwa suami saya mati syahid. Saya bisa menasihati keluarga dan langsung ke Bogor. Di sana, suami saya sudah dikafani. Sambil menangis saya menasihati ibu, bahwa dia bukan milik kita. Kita semua bukan milik kita sendiri tapi milik ALLAH. Alhamdulillah ALLAH memberi kekuatan. Kepada orang-orang yang bertakziah waktu itu, saya mengatakan : "Doakan dia supaya syahid...doakan dia supaya syahid". Sekali lagi ketabahan saya waktu itu semata datang dari ALLAH, kalau tidak, mungkin saya sudah pingsan.

Seperti tuntunan Islam, segala hutang orang yang meninggal harus ditunaikan. Meski tidak ada catatannya, tapi tanpa disadari, saya ingat sekali hutang-hutang suami. Saya memang sering bercanda sama suami, "Mas kalau ada hutang, catat. Nanti kalau Mas meninggal duluan saya tahu saya harus bayar berapa." Canda itu memang sering muncul ketika kami bicara masalah kematian. Sampai saya pernah bilang pada suami saya, "Kalau mas meninggal duluan, saya yang mandiin. Kalau mas meninggal duluan, saya kembali lagi ke ummi, jadi anaknya lagi." Semua itu akhirnya menjadi kenyataan. Beberapa hari setelah musibah itu, saya harus kembali ke rumah kontrakan di Bogor untuk mengurus surat-surat. Saat saya buka pintunya, tercium bau harum sekali. Hampir seluruh ruangan rumah itu wangi. Saya sempat periksa barangkali sumber wangi itu ada pada buah-buahan, atau yang lainnya. Tapi tidak ada. Ruangan yg tercium paling wangi, tempat tidur suami dan tempat yang biasa ia gunakan bekerja.

Beberapa waktu kemudian, dalam tidur, saya bermimpi bersalaman dengan dia. Saya cium tangannya. Saat itu dia mendoakan saya: "Zawadakillahu taqwa waghafara dzanbaki, wa yassara laki haitsu ma kunti" (Semoga Allah menambah ketakwaan padamu, mengampuni dosamu, dan mempermudah segala urusanmu di mana saja). Sambil menangis, saya balas doa itu dengan doa serupa. Semasa suami masih hidup, doa itu memang biasa kami ucapkan ketika kami akan berpisah. Saya biasa mencium tangan suami bila ia ingin keluar rumah. Ketika kami saling mengingatkan, kami juga saling mendoakan. Banyak doa-doa yang diajarkan suami saya. Ketika saya sakit, suami saya menulis doa di white board. Sampai sekarang saya selalu baca doa itu. Anak saya juga hafal. Saya banyak belajar darinya. Dia guru saya yang paling baik. Dia juga bisa menjelaskan bagaimana indahnya syurga. Bagaimana indahnya syahid. Waktu saya wisuda, 13 Januari 1996 saya sempat bertanya pada suami, "Mas nanti saya kerja di mana?" Suami diam sejenak. Akhirnya suami saya mengatakan supaya wanita itu memelihara jati diri. Saya bertanya, "Maksudnya apa?", "Beribadah, bekerja membantu suaminya, dan bermasyarakat". Saya berpikir bahwa saya harus mengurus rumah tangga dengan baik. Tidak usah memikirkan pekerjaan. Sekarang, setiap bulan saya hidup dari pensiun pegawai negeri suami. Meskipun sedikit, tapi saya merasa cukup. Dan rejeki dari ALLAH tetap saja mengalir. ALLAH memang memberi rejeki pada siapa saja, dan tidak tergantung kepada siapa saja. Katakanlah meski suami saya tidak ada, tapi rejeki ALLAH itu tidak akan pernah habis. Insya ALLAH saya optimis dengan anak2 saya. Saya ingat sabda Nabi : "Aku dan pengasuh anak yatim seperti ini", sambil mendekatkan kedua buah jari tangannya. Saya bukan pengasuh anak yatim, tapi ibunya anak yatim. Meski masih kecil-kecil, saya sudah merasakan kedewasaan mereka. Kondisi yang mereka alami, membuat mereka lebih cepat mengerti tentang kematian, neraka, syurga bahkan tentang syahid. Rezeki yg saya terima, tak mustahil lantaran keberkahan mereka.

0 comments: